Jumat, 23 September 2011

Tasyabbuh ala al-Kuffar


Mantasyabbaha biqoumin Fahuwa Minhum
= Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka =



MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah, hanya kepada-Nya kami memuji, memohon pertolongan, memohon ampunan, serta bertaubat. Kami berlindung kepada-Nya dari keburukan diri kami dan dari kesalahan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkan. Barangsiapa yang disesatkan maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan tiada sekutu bagi-Nya. Dialah (Allah) yang telah berfirman dalam Kitab-Nya:
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ߊqåkuŽø9$# Ÿwur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 ö@è% žcÎ) yèd «!$# uqèd 3yçlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y÷èt/ Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#   $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur Ÿwur AŽÅÁtR ÇÊËÉÈ
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS. Al-Baqarah: 120)
Dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang bersabda: “Dan pasti kalian akan mengikuti orang-orang sebelum kalian setapak demi setapak dan sejengkal demi sejengkal, hingga kalaupun mereka masuk ke lubang biawak kalian pasti akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) bertanya: “Ya Rasulullah, jejak orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka.”
Juga, Rasulullah pun bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Bukhori wa Muslim)

Amma ba’du.
Wahai Saudara-saudaraku yang mulia, sesungguhnya masalah tasyabbuh terhadap orang-orang kafir ini merupakan topik yang sangat penting. Islam menjadikan masalah ini termasuk dalam hal yang sangat diperhitungkan. Nabi telah menunaikan amanahnya. Beliau telah menyampaikan risalah dan telah menasihatinya. Beliau juga telah memperingatkan dalam beberapa hadits yang berkenaan dengan tasyabbuh terhadap orang-orang kafir, baik secara global maupun secara detil. Tetapi, di sisi lain sebagian umatnya justru telah terjerumus ke dalam jurang tasyabbuh, walaupun berbeda tingkat dan derajat tasyabbuhnya, sesuai dengan kadar kerusakan yang terjadi pada umat dari zaman ke zaman.
Oleh karena itu tidaklah salah kalau kami katakan bahwa kadar tasyabbuh yang menimpa umat Islam di zaman kini telah mencapai tingkat yang paling kronis dibanding keadaan yang telah menimpa pada umat-umat terdahulu. Bila kami perhatikan, nampak sekali bahwa masalah tasyabbuh ini kurang mendapat perhatian dari banyak kalangan termasuk juga dari kalangan para ulama. Di samping itu, kami melihat bila permasalahan ini diangkat ke hadapan kaum muslimin merupakan masalah yang tetap relevan dan sangat diperlukan. Kita akan meninjau masalah ini dari beberapa segi saja mengingat kompleksnya masalah ini. Dan, yang terpenting bagi kita adalah memahami hal-hal yang bersifat ushul (prinsip) dan beberapa kaidah mendasar yang harus dipahami oleh setiap muslim. Tentunya agar mereka terhindar jangan sampai terjatuh ke dalam lubang perangkap tasyabbuh terhadap orang-orang kafir, baik dalam bidang aqidah, ibadah, adat dan kebudayaan, atau dalam pola perilaku lainnya.

BAB I
PENGERTIAN TASYABBUH
At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya, meiru dan mengikutinya. Tasyabbuh yang dilarang dalam Al-Quran dan As-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka (kaum kafir, ed.). Termasuk dalam tasyabbuh yaitu meniru terhadap orang-orang yang tidak shalih, walaupun mereka itu dari kalangan kaum muslimin, seperti orang-orang fasik, orang-orang awam dan jahil, atau orang-orang Arab (badui) yang tidak sempurna diennya (keislamannya), seperti yang akan kami terangkan nanti, insyaallah. Oleh karena itu, secara global kita katakan bahwa segala sesuatu yang tidak termasuk ciri khusus orang-orang kafir, baik aqidahnya, adat-istiadatnya, peribadatannya, dan hal itu tidak bertentangan dengan nash-nash serta prinsipprinsip syari’at, atau tidak dikhawatirkan akan membawa kepada kerusakan, maka tidak termasuk tasyabbuh. Inilah pengertian secara global.

BAB II
MENGAPA TASYABBUH TERHADAP ORANG-ORANG KAFIR DILARANG
Yang pertama kali harus kita pahami seperti dinyatakan dalam beberapa ketentuan Islam, bahwa dien (Islam) dibangun di atas pondasi yang dinamakan attaslim, yakni penyerahan diri secara totalitas kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan at-taslim sendiri bermakna membenarkan seluruh yang diberitahukan Allah Ta’ala tunduk kepada perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Kemudian membenarkan apa-apa yang disampaikan Rasul-Nya tunduk kepada perintah beliau, menjauhi larangannya dan mengikuti semua petunjuk-petunjuk beliau. Jika kita sudah memahami kaidah-kaidah di atas, maka hendaklah seorang muslim untuk:
1)    Ber-taslim terhadap apa-apa yang dibawa Rasulullah.
2)    Merealisasikannya dalam setiap amal perbuatan. Dan ajaran yang beliau bawa di antaranya larangan untuk bertasyabbuh terhadap orang-orang kafir.
3)    Setelah ber-taslim, merasa tenang dengannya dan percaya penuh dengan yang dikabarkan Allah. Iman dengan segala yang disyari’atkan-Nya dan mewujudkan dalam perbuatannya.

Adapun penyebab timbulnya larangan bertasyabbuh terhadap orang-orang kafir , diantaranya:
1)    Semua perbuatan orang kafir pada dasarnya dibangun di atas pondasi kesesatan (dlalalah) dan kerusakan (fasad). Inilah sebenarnya titik tolak semua perbuatan dan amalan orang-orang kafir, baik yang bersifat menakjubkan anda atau tidak, baik yang dzahir (nampak nyata) kerusakannya ataupun terselubung. Karena sesungguhnya yang menjadi dasar semua aktivitas orangorang kafir adalah dlalal (sesat), inhiraf (menyeleweng dari kebenaran), dan fasad (rusak). Baik dalam aqidah, adat-istiadat, ibadah, perayaan-perayaan hari besar, ataupun dalam pola tingkah lakunya. Adapun kebaikan yang mereka perbuat hanyalah merupakan suatu pengecualian saja. Oleh karena itu jika ditemukan pada mereka perbuatan-perbuatan baik, maka di sisi Allah tidak memberi arti apapun baginya dan tidak diberi pahala sedikitpun. Sebagaimana firman Allah:
!$uZøBÏs%ur 4n<Î) $tB (#qè=ÏJtã ô`ÏB 9@yJtã çm»oYù=yèyfsù [ä!$t6yd #·qèWY¨B ÇËÌÈ
“Dan Kami hadapi amal yang mereka kerjakan kemudian Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
2)    Dengan bertasyabbuh terhadap orang kafir, maka seorang muslim akan menjadi pengikut mereka. Yang berarti dia telah menentang atau memusuhi Allah swt. dan Rasul-Nya . Dan dia akan mengikuti jalur orang-orang yang tidak beriman. Padahal dalam perkara ini terdapat peringatan yang sangatkeras sekali, sebagaimana Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesuadah jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalannya orangorang yang tidak beriman, Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir, pen.) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)
3)    Hubungan antara sang peniru dengan yang ditiru seperti yang terjadi antara sang pengikut dengan yang diikuti yakni penyerupaan bentuk yang disertai kecenderungan hati, keinginan untuk menolong serta menyetujui semua perkataan dan perbuatannya. Dan sikap itulah yang menjadi bagian dari unsur-unsur keimanan, di mana seorang muslim tidak diharapkan untuk terjerumus ke dalamnya.
4)    Sebagian besar tasyabbuh mewariskan rasa kagum dan mengokohkan orang-orang kafir. Dari sana timbullah rasa kagum pada agama, kebudayaan, pola tingkah laku, perangai, semua kebejatan dan kerusakan yang mereka miliki. Kekagumannya kepada orang kafir tersebut akan berdampak penghinaan kepada As-Sunnah, melecehkan kebenaran serta petunjuk yang dibawa Rasulullah dan para salafush shalih. Karena barangsiapa yang menyerupaisuatu kaum pasti sepakat dengan fikrah (pemikiran) mereka dan ridla dengan semua aktivitasnya. Inilah bentuk kekaguman terhadap mereka. Sebaliknya, ia tidak akan merasa kagum terhadap semua hal yang bertentangan dengan apa yang dikagumi tersebut.
5)    Musyabbahah (meniru-niru) itu mewariskan mawaddah (kasih sayang), mahabbah (kecintaan), dan mawalah (loyalitas) terhadap orang-orang yang ditiru tesebut. Karena bagi seorang muslim jika meniru dan mengikuti orang-orang kafir, mau tidak mau, dalam hatinya akan ada rasa ilfah (akrab dan bersahabat) dengan mereka. Dan rasa akrab dan bersahabat ini akan tumbuh menjadi mahabbah (cinta), ridla serta bersahabat kepada orang-orang yang tidak beriman. Dan akibatnya dia akan menjauh dari orang-orang yang shalih, orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang mengamalkan As-Sunnah, dan orang-orang yang lurus dalam berislam. Hal tersebut merupakan suatu hal yang naluriah, manusiawi dan dapat diterima oleh setiap orang yang berakal sehat. Khususnya jika muqallid (si pengikut) merasa sedang terkucil atau sedang mengalami kegoncangan jiwa. Pada saat yang demikian itu apabila ia mengikuti yang lainnya, maka ia akan merasa bahwa yang diikutinya agung, akrab bersahabat, dan terasa menyatu dengannya. Kalau tidak, maka keserupaan lahiriah saja sudah cukup baginya. Keserupaan lahiriah ini direfleksikan ke dalam bentuk kebudayaan dan tingkah laku. Dan tidak bisa tidak, kelak akan berubah menjadi penyerupaan batin. Hal ini merupakan proses yang wajar dan dapat diterima oleh setiap orang yang mau mengamati permasalahan ini dalam pola tingkah laku manusia (human being). Kami akan memberikan contoh yang menggambarkan adanya keserupaan, kecintaan, dan keakraban antara orang-orang yang senasib. Kalau seseorang bepergian ke negeri lain maka ia akan menjadi orang asing di sana. Jika dia bertemu dengan seseorang yang berpakaian sama dengan pakaiannya, kemudian berbicara dengan bahasa yang sama pula pasti akan timbul mawaddah (cinta) dan ilfah (rasa akrab bersahabat) lebih banyak dibanding kalau di negeri sendiri. Jadi apabila seseorang merasa serupa dengan lainnya, maka rasa persamaan ini akan membekas di dalam hatinya. Ini dalam masalah yang biasa. Lalu bagaimana jika seorang muslim menyerupakan diri dengan orang-orang kafir karena kagum kepada mereka? Dan memang inilah yang kini banyak terjadi. Suatu hal yang tidak mungkin, seorang muslim bertaklid dan menokohkan orang kafir kalau tidak berawal dari rasa kagum, kemudian disusul dengan keinginan untuk mengikuti, mencontoh, dan akhiranya menumbuhkan rasa cinta yang mendalam yang disertai dengan sikap loyalitas yang tinggi. Hal itu bisa dilihat pada masa sekarang di mana banyak muslim yang bergaya hidup kebarat-baratan.
6)    Bertasyabbuh terhadap orang-orang kafir pada dasarnya akan menjerumuskan kepada kehinaan, kelemahan, kekerdilan (rendah diri), dan kekalahan. Oleh karena itu sikap bertasyabbuh dilarang keras. Demikianlah yang terjadi pada sebagian besar orang-orang yang mengikuti orang-orang kafir sekarang ini.


BAB III
KAIDAH-KAIDAH
Yang harus dipahami dari kaidah dasar yang dijadikan tolok ukur tasyabbuh adalah sebagai berikut:
Kaidah Pertama:
Rasulullah SAW memberitakan kepada kita dengan kabar yang pasti benar dan tidak mungkin keliru, bahwa sebagian umat ini pasti akan mengikuti jejak orang-orang terdahulu dari umat lain. Hadits mengenai hal ini merupakan hadits shahih, seperti yang tertulis dalam kitab-kitab Shahih dan kitab-kitab Sunan. Di antaranya sabda beliau yaitu: “Umat ini pasti akan mengikuti jejak umat-umat sebelumnya, setapak demi setapak, sejengkal demi sejengkal.”
Dan, hadits-hadits lain hingga sampai derajat jazm (pasti), yang menyatakan bahwa sebagian umat ini pasti akan terjerumus ke arah langkah-langkah orangorang kafir. As-Sunan (jalan atau jejak) yang dikabarkan Nabi seperti kata para ahli ilmu, meliputi aqidah, ibadah, hukum, adat kebudayaan, tingkah laku, dan hari-hari besar atau perayaan-perayaan.
Yang dimaksud dengan umat-umat sebelumnya, dari beberapa keterangan hadits-hadits lain dari Nabi , secara singkat dinyatakan, bahwa mereka itu adalah bangsa Persi dan Romawi. Ada pula yang menyatakan bahwa mereka itu adalah dari kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Juga, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir secara mutlak. Bahkan, ada yang menafsiri bahwa mereka adalah orang-orang musyrik. Nash-Nash tersebut saling mendukung antara satu dengan lainnya. Merupakan suatu kepastian bahwa umat ini akan mengikuti jejak orang-orang kafir. Dan dapat dipastikan pula, bahwa yang mereka ikuti dan tiru dari orang-orang kafir salah satunya dalam bentuk firqah-firqah. Sebab, Nabi menyatakan, bahwa akan tetap tinggal sebagian umat ini yang tetap berpegang pada kebenaran dan memperjuangkannya. Mereka itu adalah golongan yang berhak mendapat pertolongan, yang menerangkan kebenaran dengan terang-terangan, yang menyuruh kepada yang ma’ruf, yang melarang kemaksiatan dan kemungkaran, yang tidak pernah merasa terhalangi oleh orang-orang yang mencela dan memusuhinya hingga hari kiamat. Merekalah yang dinamakan Al- Firqatu An-Najiyah (golongan yang selamat).
Dan sebagian dari tanda-tanda keselamatannya yaitu keadaan mereka yang selalu berpegang pada kebenaran, tidak terjatuh dalam jurang tasyabbuh dengan orang-orang kafir. Berdasarkan hal ini maka sabda Nabi yang menyatakan bahwa ada sebagian umatnya yang mengikuti jejak umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan, tidak lain bahwa mereka itu adalah ahlu iftiraq (kelompok sempalan,ed.) yang memisahkan diri dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Kaidah Kedua:
Nabi ketika memberi tahu kepada kita bahwa sebagian umat ini akan terjatuh dalam perangkap tasyabbuh atau mengikuti jejak orang-orang kafir, maka sesungguhnya beliau telah mengingatkan tentang perkara ini denga peringatan yang sangat keras.
Pertama, pemberitahuan beliau mengenai hal ini mengandung peringatan.
Kedua, yang dimaksud Nabi adalah memperingatkan agar jangan sampai bertasyabbuh dengan orang-orang kafir, baik secara global maupun secara detil. Adapun secara global, seperti sabda beliau : “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” dan seperti hadits yang telah lalu: “Sungguh kalian pasti akan mengikuti jejak umat-umat sebelummu.”
Hadits-hadits tersebut bernada peringatan dan pemberitahuan terjatuhnya umat ke dalam tasyabbuh. Demikian juga yang termaktub dalam hadits-hadits lain, bahwa Nabi pernah bersabda: “Selisihilah orang-orang musyrik.”, Dan sabdanya: “Selisihilah orang-orang Yahudi.”. Dan sabdanya: “Selisihilah orang-orang Majusi.” Semuanya merupakan nash-nash yang bersifat umum dan global. Adapun yang secara terperinci akan kami terangkan, insyaallah, pada BAB VIII sebagai contoh praktis terhadap topik ini.

Kaidah Ketiga:
Maklumat beliau bahwa sebagian umat beliau ada yang tetap berpegang teguh pada kebenaran, tidak akan mampu dibendung oleh orang-orang yang suka mencelanya dan tidak pula oleh orang-orang yang memusuhinya hingga hari kiamat.
Kaidah-kaidah ini tidak mungkin dipisahkan antara yang satu dengan lainnya kalau kita ingin melihat masalah tasyabbuh ini. Karena kalau kita memisahkan nash yang satu dengan nash lainnya, maka sebagian manusia akan menyangka bahwa seluruh muslimin akan terjatuh dalam tasyabbuh. Hal ini tidak mungkin sama sekali, mengingat akan bertentangan dengan apa yang telah dinyatakan Rasulullah bahwa sebagian umatnya ada yang tetap berpegang teguh pada kebenaran dan memperjuangkannya. Demikian juga kalau kita hanya mengambil hadits yang satu, --yakni hadits adanya golongan yang tetap berpegang teguh pada kebenaran dan memperjuangkannya--, dan tidak mengambil haditspertama, yakni hadits bahwa umat ini akan mengikuti jejak umat-umat sebelumnya … dst.--, maka sebagian manusia akan membayangkan bahwa umat ini tidak akan ditaburi dengan perbuatan tasyabbuh terhadap orang-orang kafir.
Mereka akan membayangkan bahwa umat ini maksum, suci dan terjaga. Padahal, yang dimaksud bukanlah itu semua, akan tetapi bahwa akan tetap ada suatu umat pertengahan (umatul wasthi) yakni Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Merekalah orang-orang yang akan senantiasa tetap di atas As-Sunnah dan tidak akan terjerat tasyabbuh, sedangkan golongan lain yang memisahkan diri dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah, sesungguhnya sikap memisahkan diri tersebut hanya akan menjadikan mereka terjatuh ke dalam tasyabbuh. Tidak ada suatu golongan pun dari umat ini menyimpang dari Sunnah (yakni Ahlu Sunnah, pen.) kecuali akan terjatuh dan tergolong dalam golongan umat yang dibinasakan (umamul halikah), seperti yang akan kami paparkan nanti, insyaallah.


BAB IV
LARANGAN BERTASYABBUH TERHADAP BEBERAPA HAL YANG BERSIFAT UMUM
Larangan bertasyabbuh terhadap hal yang bersifat umum ada empat perkara, yaitu:
Pertama: Masalah Aqidah
Perkara ini adalah perkara yang paling besar dalam tasyabbuh. Bertasyabbuh dalam perkara ini hukumnya kufur dan syirik. Seperti mensucikan orang-orang shalih atau makhluk, sharf yakni salah satu cara beribadah kepada selain Allah. Kemudian seperti mendakwahkan “Anak” atau “Bapak” kepada Allah terhadap salah satu ciptaan-Nya.
Hal itu sebagaimana dakwahan orang-orang Nasrani yang mengatakan bahwa Al-Masih anak Allah, atau seperti dakwahan orang-orang Yahudi bahwa Uzair anak Allah. Demikian juga At-Tafarruq (berpecah-pecah) dalam agama (dien), berhukum atau menghukumi dengan undang-undang yang tidak diturunkan Allah. Dan perkara-perkara lain yang dapat digolongkan dalam bentuk kekufuran dan kemusyrikan sebab semua itu merupakan masalah aqidah.

Kedua: Yang Berhubungan dengan Hari Besar atau Perayaan-perayaan
Hari-hari besar (perayaan-perayaan) walau sebagian besar termasuk dalam perkara ibadah, tetapi kadang-kadang ada beberapa bagian yang termasuk adatistiadat. Kecuali yang dikhususkan dalam syari’at dengan dalil-dalil yang banyak, dan mengingat pentingnya, maka dikhususkan pelarangannya dengan alasan ada unsur tasyabbuh di dalamnya.

Ketiga: Masalah Ibadah
Diantaranya, seperti mengakhirkan shalat maghrib, meninggalkan makan sahur, mengakhirkan berbuka puasa, dan sebagainya yang insyaallah akan kami perinci nanti.

Keempat: Masalah Tradisi, Akhlak, Tingkah Laku
Seperti pakaian, misalnya. Ini dinamakan sebagai petunjuk lahiriah, dan petunjuk lahir tersebut diamati dari rupa, bentuk, pola tingkah laku, dan akhlak. Telah dinyatakan pula secara nyata dan jelas tentang keharaman bertasyabbuh dalam beberapa perkara, baik secara keseluruhan maupun secara sebagian-sebagian, Seperti; gaya rambut seperti orang kafir, larangan mencukur jenggot, memakai bejana atau piring dari emas, memakai pakaian yang merupakan syi’arnya orang-orang kafir, bertabarruj (menampakkan perhiasan tubuh pada lelaki yang bukan mahram), ikhtilath (bergaul campur antar lawan jenis yang bukan mahram), laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki, dan segala bentuk tradisi kafir lainnya.


BAB V
HUKUM TASYABBUH
Sesungguhnya hukum tasyabbuh dalam masalah yang menyangkut beberapa perkara disimpulkan dalam satu keputusan. Karena, masing-masing dari setiap perkara tasyabbuh ini mempunyai hukum sendiri-sendiri berdasarkan nash-nash yang ada. Juga, berdasarkan kaidah-kaidah syar’i sebelum pendapatnya para ulama dan ahli fiqih. Akan tetapi, dalam masalah tasyabbuh ini ada beberapa hukum umum yang meliputi semua jenis tasyabbuh yang bersifat menyeluruh, bukan bersifat parsial. Hukum umum tersebut antara lain sebagai berikut:
1.     Ada beberapa perkara dari perbuatan tasyabbuh terhadap orang-orang kafir bisa dihukumi sebagai perbuatan syirik atau kufur; seperti tasyabbuh dalam bidang keyakinan, beberapa perkara masalah ibadah, misalnya tasyabbuh terhadap orang-orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah tauhid dan aqidah. Contohnya: seperti ta’thil yakni menafikkan dan mengkufuri nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala, meyakini kemanunggalan hamba dengan Allah, takdis (mensucikan) seorang nabi atau orang-orang shalih kemudian berdoa serta beribadah kepada mereka, berhukum dengan syari’at dan perundang-undangan buatan manusia. Semua itu kalau tidak syirik pasti kufur hukumnya. Dan ini hukumnya Haram secara mutlak.
2.     Ada pula dari beberapa perbuatan yang menjerumuskan kepada perbuatan maksiat dan kefasikan. Seperti taklid kepada adat-istiadat atau budaya kafir. Contohnya, seperti makan dan minum dengan tangan kiri, laki-laki menyerupai wanita (sisay) atau wanita yang menyerupai laki-laki (tomboy) dan lain sebagainya. Berdasarkan Ijma Ulama ini juga hukumnya Haram.
3.    Tasyabbuh bisa dihukumi sebagai perbuatan yang makruh bila timbul keragu-raguan antara mubah atau haram karena tidak ada kejelasan hukum. Maksudnya, kadang-kadang dalam beberapa masalah tingkah laku, adat atau kebudayaan, serta beberapa masalah keduniaan masih diragukan kedudukan hukumnya. Apakah masalah tersebut termasuk suatu perkara yang dibenci ataukah sesuatu yang mubah (dibolehkan). Namun, demi menjaga agar seorang muslim tidak terperosok, maka dihukumi sebagai sesuatu yang makruh. Kini timbullah satu pertanyaan, “Apakah ada perbuatan orang kafir yang dihukumi mubah?” Kami katakan, bahwa dinyatakannya mubah terhadap perbuatan orang kafir, karena perbuatan tersebut menyangkut masalah keduaniaan dan bukan pula merupakan ciri khusus orang-orang kafir. Di samping itu, masalah tersebut tidak pula membedakannya dari orang-orang muslim yang shalih, serta tidak menggiring kepada kerusakan yang besar terhadap kaum muslimin, atau menguntungkan orang-orang kafir sehingga menyebabkan diremehkannya kaum muslimin. Sebagian perkara yang mubah tersebut hendaknya semata-mata merupakan rekayasa materi murni dan tidak akan menyebabkan kaum muslimin tergiring untuk mengikuti kaum kafir, sehingga bakal membahayakan mereka. Demikian juga dengan ilmu-ilmu murni keduniaan yang tidak menyangkut aqidah dan akhlak, maka semua ini termasuk dalam perkara mubah. Kadang-kadang kaum muslimin harus mengambil manfaat dari ilmu-ilmu murni keduniaan yang dimiliki orang-orang kafir. Dan, yang dimaksud dengan murni (bahtah) adalah tidak mengandung unsur-unsur atau tanda-tanda yang bertentangan dengan nash-nash atau kaidah-kaidah syar’i. Atau, yang dapat menjerumuskan kaum muslimin pada kehinaan dan kekerdilan. Bila ketentuan tersebut dipenuhi, maka bisa dimasukkan ke dalam kategori mubah.

Jika dalam perkara-perkara aqidah dan ibadah, keharamannya telah ditetapkan secara qath’i (tegas). Itu berarti, bahwa keharaman bertasyabbuh terhadap orang-orang kafir, dalam hal-hal tersebut di atas telah pula ditetapkansecara qath’i.
Selain masalah tersebut di atas, hal-hal yang menyangkut tradisi budaya (selama menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan ciri khusus kaum kafir) maka, hal itu termasuk tasyabbuh yang diharamkan. Dan, kalau bukan merupakan ciri khusus mereka, maka hukumnya salah satu di antara tiga, yakni bisa haram, makruh, atau mubah. Sedangkan, dalam masalah-masalah ilmu dan perkara-perkara keduniaan murni, seperti penemuan atau pembuatan barang-barang bersifat umum, pembuatan senjata, dan lain-lain maka hukumnya termasuk mubah, jika memenuhi syarat-syarat di atas.

BAB VI
GOLONGAN-GOLONGAN YANG TERLARANG DITASYABBUHI
Dengan menelaah dan mengkaji nash-nash syar’i maka kita akan dapat mengenali beberapa golongan (yang dilarang untuk ditiru), tidak saja secara garis besar, tetapi juga secara mendetil, adalah:

Golongan Pertama: Orang Kafir
Sebagaimana telah dinyatakan, bahwa secara umum bertasyabbuh kepada orang-orang kafir, dengan tanpa kecuali, adalah sangat terlarang. Termasuk golongan ini adalah orang-orang musyrik, Yahudi, Nasrani, Majusi, Syaibah, orang-orang Komunis, dan lain-lain. Kita dilarang bertasyabbuh terhadap setiap perkara yang merupakan ciri khas orang kafir, baik dalam ibadah, adat-istiadat, cara berhias, rambut jambul maupun pakaian-pakaian yang biasa dikenakan orang kafir. Seperti sabda Nabi kepada Abdullah bin Umar ra. Ketika beliau melihatnya berpakaian dengan dua pakaian berwarna kuning keemasan, sabda beliau: “Sesungguhnya pakaian ini adalah dari orang-orang kafir, maka janganlah kamu memakainya.”
Hal ini merupakan dalil, bahwa jika pakaian itu merupakan pakaian khas orang-orang kafir maka seorang muslim tidak boleh memakainya.

Golongan Kedua: Orang-orang Musyrik
Kita telah dilarang bertasyabbuh terhadap cara ibadah mereka, perayaan hari-hari besar mereka, perbuatan-perbuatan mereka, seperti muka’an wa tashdiyah yakni beribadah dengan cara bersiul-siul dan bertepuk tangan, minta syafaat dan tawassul dengan makhluk ciptaan Allah swt. di dunia, bernadzar dan berkurban di pekuburan, dan perbuatan-perbuatan lainnya. Termasuk perbuatan yang dilarang pula yakni meninggalkan padang Arafat sebelum maghrib (dalam berhaji) sebab perbuatan tersebut merupakan perbuatan kaum musyrikin. Para pendahulu kita (as-salafus shalih) sangat membenci setiap perkara yang merupakan ciri khas milik orang-orang musyrik dan semua yang termasuk perbuatan-perbuatan mereka. Seperti kata Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, ra. Dan yang lainnya: “Barangsiapa yang membuat bangunan di negeri orang-orang musyrik serta membuat panji-panji dan pataka-pataka (bendera lambang komando) mereka hingga akhir hayatnya, maka akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat.”
Dan Ibnu Umar ra. membenci meletakkan hiasan-hiasan di masjid dan melarang dari hal tersebut serta semua hal yang berhubungan dengan masalah itu, karena menurut beliau ra. bahwa hal itu menyerupai patung-patung orang musyrik.

Golongan Ketiga: Ahli Kitab
Yang dimaksud Ahli Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kita dilarang meniru semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang Yahudi dan Nasrani, baik dalam bidang aqidah, ibadah, adat-istiadat (budaya), dalam berpakaian, atau hari-hari besar mereka. Contohnya: membuat bangunan di atas kuburan, dan menjadikannya masjid, menggantungkan gambar-gambar (foto-foto), mengekspose wanita, meninggalkan makan sahur, tidak menyemir rambut yang memutih (dengan warna selain hitam, pent.), menggantung atau memasang salib, ikut memperingati dan merayakan hari-hari besar mereka dan lain-lain.

Golongan Keempat: Orang-orang Majusi
Sebagian ciri khas orang-orang Majusi adalah menyembah dan beribadah kepada api, mensucikan raja-raja dan para pembesar, mencukur rambut bagian kuduk dan membiarkan rambut bagian depan, mencukur jenggot, memanjangkan kumis (dengan alasan mengikuti mereka), dan memakai piring atau bejana dari emas dan perak.

Golongan Kelima: Persia dan Romawi
Termasuk golongan ini tentu saja Ahli Kitab, Majusi dan lainnya, Persia dan Romawi. Kita juga telah dilarang bertasyabbuh dengan hal-hal yang merupakan ciri khas mereka dalam peribadatan, kebudayaan, cara dan tata tertib keagamaan. Seperti, mengagungkan dan mensucikan pembesar-pembesar dan orang-orang terhormat, mentaati pendeta (alim ulama/ahli agama) dan rahib-rahib (orang-orang shalih) yang mensyari’atkan sesuatu yang tidak disyari’atkan Allah, berlebih-lebihan serta melampaui batas dalam beragama.

Golongan Keenam: Orang-orang ‘Ajam yang Bukan Muslimin
Hal ini berdasarkan sabda Nabi ketika beliau melarang seorang laki-laki yang memakai sutera di bagian bawah pakaiannya, dengan sabda beliau: “Seperti orang ‘Ajam (bukan Arab, non Muslim).” atau terhadap orang yang menambahkan sutera di bagian pundak pakaiannya, dengan sabdanya: “Seperti orang ‘Ajam (bukan Arab, yang non muslim)”
Dan, beliau juga melarang berdiri menyambut pembesar sebagai penghormatan. Bahkan, beliau melarang perbuatan yang sama bagi makmum terhadap imamnya dengan alasan yang sama, sebab dikhawatirkan mereka memahami bahwa yang demikian itu adalah salah satu cara penghormatan. Hal itu sebagaimana dinyatakan dalam asbabul wurud dari hadits tersebut, bahwa yang demikian itu bertasyabbuh dengan perbuatan orang-orang ‘Ajam yang berdiri untuk menghormati kedatangan pembesar-pembesar mereka. Hal inilah yang dilarang, karena bertasyabbuh dengan orang-orang kafir ‘Ajam. Perkara ini dikuatkan pula oleh Umar bin Khattab ra. Beliau melarang berpakaian seperti orang ‘Ajam sebagaimana halnya terhadap orang-orang musyrik. Beliau menyampaikan larangan tersebut dengan keras sekali. Demikian pula dengan yang diisyaratkan oleh para as-salaf ash-shalih.

Golongan Ketujuh: Orang-orang Jahiliyah dan Ahlinya
Kita juga telah dilarang dari segala hal yang berbau jahiliyah, baik dalam akhlak, ibadah, adat, maupun syi’ar-syi’arnya. Seperti bertabarruj (Berhias secara berlebih-lebihan) bagi wanita, bertelanjang (tidak memakai pakaian, yakni menampakkan aurat, baik keseluruhan maupun sebagian saja), fanatik kebangsaan, berbangga-bangga dengan kebangsawanan dan mencela nasab, meratapi mayat dan meminta hujan kepada bintang-bintang (yakni berpendapat bahwa hujan turun karena musim dan bukan karena rahmat Allah).
Nabi SAW telah membantah dan membatalkan semua yang berbau jahiliyah dengan Islam, baik pahamnya, kebudayaannya, atau taklidnya (ikut-ikutan tanpa ilmu), peraturan dan perundangannya, iklan-iklan dan propaganda-propagandanya.

Golongan Kedelapan: Setan
Golongan lainnya yang terlarang untuk dijadikan figur peniruan (tasyabbuh) adalah setan. Nabi telah menerangkan perbuatan-perbuatan setan itu dan kita dilarang menirunya. Seperti, makan dan minum dengan kiri. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya: Bahwa Nabi bersabda: “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri dan jangan pula minum dengannya (tangan kiri). Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengannya (tangan kiri pula).”
Tetapi sayangnya, perbuatan ini banyak dilakukan di kalangan kaum muslimin dengan menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan sepele, atau memang karena ketakabburannya terhadap kebenaran, serta iman meniru-niru auliya’u setan (teman-teman setan) dari golongan orang-orang kafir dan fasik.

Golongan Kesembilan: Orang-orang Badui yang Tidak Sempurna Agamanya
Mereka adalah orang-orang Badui (Arab) yang jahil. Banyak orang-orang Arab yang memakai hukum perundang-undangannya berdasar adat dan taklid (mengikuti nenek moyang), tidak berdasarkan Islam sama sekali. Semuanya itu merupakan warisan jahiliyah, bahkan ada orang-orang Badui yang fanatik terhadap adat-istiadat dan kebudayaannya, doktrin-doktrin hari-hari besar, taklid, serta berbagai atribut lainnya meskipun bertentangan dengan syari’at Islam. Di antaranya, fanatik jahiliyah (kebulatan tekad untuk mempertahankan kejahiliyahan), membangga-banggakan kebangsawanan, mencela nasab, menamakan maghrib dengan isya dan menamakan isya dengan al-atamah (kegelapan malam), bersumpah untuk thalak, menggantungkan thalak, tidak menikah kecuali dengan anak pamannya, dan adat-adat jahiliyah lainnya.


BAB VII
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KAUM MUSLIMIN TERJEBAK DALAM TASYABBUH
Pertama kali yang perlu kita ketahui bahwa masalah ini (yakni tasyabbuh, pent.) adalah suatu masalah yang baru dan diada-adakan. Kalau bukan sebagai masalah baru, tentu masalah tersebut sudah terjadi, seperti yang disinggung oleh Nabi .
Kedua, yang harus kita ketahui berdasarkan kaidah-kaidah yang telah diuraikan di muka, bahwa orang-orang yang telah terjebak dalam tasyabbuh terhadap orang-orang kafir bukan termasuk ahlul haq dan bukan pula termasuk Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Sesungguhnya orang-orang yang telah terjebak dalam perangkap tasyabbuh adalah termasuk ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan ahlul iftiraq (kelompok sempalan). Tidak ada satu golongan pun yang memisahkan diri dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah kecuali pasti di dalamnya ada unsur ketasyabbuhan dengan orang-orang kafir, sedikit atau banyak!

Sebab-sebab Pokok yang Menjatuhkan Kaum Muslimin Kepada Tasyabbuh Terhadap Orang-orang Kafir
1.   Tipu daya orang-orang kafir terhadap Islam dan kaum muslimin
Inilah yang terjadi sejak lahirnya Islam hingga hari ini. Orang-orang kafir dengan segala jenis ajarannya, aqidahnya, serta dengan segala bentuk aturan dan hawa nafsunya berusaha memperdayakan Islam. Sebagian dari pelaksanaan program tipu daya mereka adalah menjebak kaum muslimin supaya bertasyabbuh dalam masalah aqidah, adat-istiadat, hari-hari besar dan perayaan-perayaan, serta dalam tingkah laku. Oleh karena itu dapat kita temukan, bahwa sebagian besar faktor yang menyebabkan kaum muslimin berpecah-belah adalah karena hasil tipu daya orang-orang kafir. Tidak satu kelompok pun yang menyempal dari umat (Ahlu Sunnah) kecuali kita temukan di sana salah satu penyebabnya adalah adanya sekelompok orangorang kafir yang menyelinap di kalangan kaum muslimin kemudian menghembuskan keonaran dan perpecahan. Setelah itu mereka menyiarkan perpecahan itu di kalangan pengikut hawa nafsu dan orang-orang yang menyepelekan agama, atau kepada para tokohnya beserta para pengikutnya. Jadi tipu daya orang-orang kafir adalah merupakan pokok penyebab terjebaknya kaum muslimin ke dalam tasyabbuh. Sedangkan, Allah Ta’ala telah memberi tahu kepada kita tentang hal itu dengan firman-Nya: “Dan tidak akan rela kepadamu orangorang Yahudi dan Nasrani itu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al- Baqarah: 120).
Dan, juga firman-Nya: “Mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemadlaratan bagimu. Mereka menyukai apa-apa yang menyusahkanmu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (QS. Ali Imran: 118). Kemudian firman-Nya pula: “Orangorang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Rabb-mu.” (QS. Al-Baqarah: 105).
Dan firman-Nya: “Jika kamu mentaati orang-orang kafir niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran kembali).” (QS. Ali Imran: 149). Dan firman-Nya: “Jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al- Kitab (Nasrani dan Yahudi) niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir sesudah kamu beriman.” (QS. Ali Imran: 100).
Jadi tidak diragukan lagi bahwa mereka (orang-orang kafir) sangat mengharapkan, bahkan dengan tiada henti-hentinya, agar kaum muslimin keluar dari agamanya. Oleh karena itu kaum kafir sekarang ini lebih gencar lagi mencurahkan tenaganya dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya. Dan, setiap muslim yang mau mengamati segala yang menimpa kaum muslimin di seluruh dunia sekarang ini tentu akan bisa merasakan serbuan orang-orang kafir kepada umat Islam itu. Dan, dalam upayanya tersebut, orang kafir memusatkan perhatiannya kepada berbagai urusan di antaranya bidang aqidah, kebudayaan, keorganisasian, politik, akhlak, dan lain-lain. Sesungguhnya orang-orang kafir dan antek-anteknya telah menghimpun kekuatan untuk menjebak umat Islam ke dalam jurang tasyabbuh. Jebakan mereka tersebut lebih dasyat dari yang telah dilakukan pada zaman manapun di masa lalu.

2.   Kebodohan umat dan tidak adanya pemahaman terhadap Islam
Yakni kebodohan mereka terhadap hukum-hukum agama dan manhaj Salafush Shalih (yaitu manhaj Rasulullah dan para sahabat serta tabi’in, tabi’it tabi’in, dan para imam yang mendapat petunjuk).

3.   Kelemahan umat Islam dalam bidang materi, maknawi dan kemiliteran
Sehingga menjadikan mereka merasa lemah dan kerdil, kalah dan terusir, serta dikuasai orang kafir dalam semua bidang kehidupan.

4.   Tipu daya orang-orang munafik
Kaum munafik ini tumbuh dan berkembang di kalangan kaum muslimin. Mereka adalah pelaku-pelaku ajaran itu sendiri, akan tetapi mereka sangat kuat dukungannya kepada orang-orang kafir di setiap zaman, dahulu maupun sekarang. Oleh karena itu orang-orang munafik yang ada dalam kalangan kaum muslimin ini mempunyai peranan amat besar terhadap upaya menjerumuskan kaum muslimin ke dalam tasyabbuh.
Adapun yang dimaksud orang-orang munafik adalah mereka yang termasuk kelompok:
·         Orang-orang yang mendakwahkan dirinya muslim yang berasal dari orangorang kafir. Mereka masuk Islam secara lahirnya saja, dengan tujuan untuk membuat tipu daya.
·         Orang-orang yang aslinya muslim akan tetapi kemudian murtad dan menyeleweng.
·         Orang-orang yang cenderung kepada kefasikan dan perbuatan-perbuatan dosa, walaupun ia mengaku Islam. Kebanyakan dari orang-orang yang terjebak dalam tasyabbuh dengan orang-orang kafir adalah orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Orang-orang semacam inilah yang menyukai tersebarluasnya hawa nafsu setan dan kekejian-kekejian di kalangan kaum muslimin, sebagaimana yang diperbuat kaum orientalis Barat dan lain-lainnya. Selain faktor-faktor tadi masih banyak faktor lainnya yang menyebabkan kaum muslimin terjerembab ke dalam tasyabbuh terhadap orang-orang kafir.

BAB VIII
CONTOH-CONTOH PRAKTIS TASYABBUH YANG DILARANG RASULULLAH

I.     Iftiraq (Memisahkan Diri dari Jama’ah Ahlu Sunnah)
Masalah pertama yang secara tegas dilarang oleh Nabi atau secara syar’i dari sikap tasyabbuh terhadap orang-orang kafir adalah iftiraq fi dien (berpecah belah dalam agama). Masalah ini banyak dinyatakan dalam Al-Quranul Karim dan dalam As-Sunnah yang tsabit dan shahih. Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang kebenaran kepada mereka.” (QS. Ali Imran: 105). Kemudian dihubungkan dengan pernyataan Nabi tentang akan berpecah-belahnya umat ini: “Orang-orang yahudi terpecah menjadi 71 firqah, dan orang-orang Nasrani terpecah menjadi 72 firqah, sedangkan umat ini akan terpecah menjadi 73 firqah.”

II.   Membuat Bangunan di Atas Kubur, Menjdikannya Masjid dan Diibadahi, serta Menggantung Gambar
Dengan meniru perbuatan tersebut, maka dibangunlah juga kuburan orangorang shalih di masjid walaupun setelah dibangunnya masjid itu. Semua ini termasuk dalam larangan. Termasuk yang dilarang adalah menjenguk atau menziarahi kubur dengan tujuan berdoa di sana, atau berdoa kepada mayat, atau dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepadanya. Semua itu adalah perbuatan yang biasa dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani, padahal Nabi telah memperingatkan tentang hal itu dengan peringatan yang sangat keras. Juga, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Rasulullah lima puluh hari sebelum beliau wafat bersabda: “Aku berlepas diri kepada Allah kalau sampai dijadikan sebagai khalil (teman, kekasih), karena Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya seperti menjadikan Ibrahim sebagai kekasih. Kalau seandainya aku dibolehkan mengambil orang sebagai kekasih (khalil) pasti aku jadikan Abu Bakar sebagai khalilku. Waspadalah, sesungguhnya orang-orang sebelummu telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid, dan aku melarang kalian dari berbuat yang demikian itu.” Dan dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim), Nabi pernah bersabda: “Celakalah orang-orang Yahudi, yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” Dan, dalam lafadz Muslim: “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” 24
Dan, dalam Shahihain: Dari A’isyah dan Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: ketika Rasulullah tertimpa sakit sampai wafatnya,beliau menutupkan selimut ke wajahnya, dan ketika beliau merasa penuh dengannya maka disingkapnya dari wajah beliau, dan beliau bersabda sedang ia dalam keadaan demikian itu: “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” Beliau memperingatkan atas apa yang telah mereka perbuat.  
Dalam riwayat lain Nabi bersabda mengomentari kisah Ummu Salamah dan Ummu Habibah ketika mereka melihat gereja yang sangat indah dengan dihiasi gambar-gambar di dalamnya, maka bersabda Nabi : “Mereka adalah kaum yang apabila meninggal seorang yang shalih atau laki-laki yang shalih, dibangunlah di atas kubur mereka sebuah tempat peribadatan dan mereka hiasi dengan gambar-gambar sang mayat tersebut. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.” Masalah itulah yang merupakan ujian yang paling berat bagi muslimin zaman sekarang ini.

III.    Fitnah Wanita
Masalah yang paling dahsyat dan paling berbahaya dari tasyabbuh yang menimpa kaum muslimin adalah fitnah wanita. Masalah ini merupakan hasil rekayasa orang-orang kafir. Yang dimaksud dengan fitnah wanita adalah keluarnya mereka dari tempat tinggalnya (rumah) tanpa memakai hijab (jilbab) dan mencampakkan rasa malunya sehinnga menjadikan fitnah di kalangan laki-laki. Dikhususkannya wanita dalam hal ini, karena:
1)    Wanita dapat menarik laki-laki kepada ketaklidan (hal yang bisa menjadikan mengikuti dengan begitu saja) serta merupakan salah satu perantara hingga terjadi yang demikian itu.
2)    Wanita diciptakan dengan daya pikat yang hebat terhadap laki-laki, terutama dengan rayuannya. Demiian pula laki-laki dijadikan cenderung kepada wanita jika mereka berpapasan dengan tanpa memakai hijab dan tanpa diiringi rasa malu.
Dari banyak kasus tasyabbuh terhadap Ahli Kitab dan orang-orang kafir, baik dalam adat-istiadat, akhlak, hari-hari besar dan perayaan-perayaannya, yang pertama kali terjerat adalah wanita. Kemudian, diikuti dengan para orang tua dan orang-orang jahil. Sayangnya gejala ini --yakni fitnah wanita-- sudah menjamur di kalangan kaum muslimin di zaman sekarang ini. Padahal Nabi telah memperingatkan akan hal itu dalam sabdanya: “Waspadalah terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah karena wanita.”  Yakni, jika wanita dijadikan panutan, karena hubungan laki-laki dengan wanita harus seperti yang telah digariskan dalam ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala.
Dan, bila seorang wanita mulai meninggalkan rasa malu dan menanggalkan hijab, maka sesungguhnya hal itu adalah salah satu jalur terjadinya fitnah. Dan, sebagian besar umat jika telah terjebak dalam perangai ini, maka jadilah mereka umat yang tidak beruntung diennya dan akan dikuasai oleh fitnah.

IV.    Tidak Menyemir Rambut yang Beruban
Sebagian dari yang dilarang Nabi dalam bertasyabbuh dengan orangorang kafir adalah membiarkan rambut beruban dan tidak disemir. Perbuatan semacam itu adalah menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani. Seperti yang termaktub dalam Shahihain: Dari Abu Hurairah ra. berkata: bersabda Rasulullah : ”Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak menyemir ubannya, maka selisihilah mereka.” Dengan syarat tidak menyemirnya dengan warna hitam seperti yang dinyatakan dalam nash-nash lainnya.

V.   Menanggalkan Sepatu atau Khuf Ketika Shalat
Termasuk yang dilarang Nabi karena menyerupai orang-orang kafir dan merupakan ciri khas orang-orang Yahudi adalah tidak mengenakan sepatu ataupun khuf (sepatu dari kulit yang menutup mata kaki) dalam shalat, padahal telah ada larangan melepas sepatu ketika shalat. Hal itu merupakan sesuatu yang lazim agar berbeda dengan orang-orang Yahudi selama tidak menimbulkan kekhawatiran tidak menimbulkan penyakit. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim, kemudian dishahihkannya, serta disetujui Adz-Dzahabi; bersabda Nabi : “Selisihilah orang-orang Yahudi. Sesungguhnya mereka tidak shalat atas sepatu mereka dan tidak pula atas khufkhuf mereka.” Hal ini banyak menimpa orang-orang yang jahil (bodoh) dan para ahli bid’ah dengan mengingkari perbuatan sunnah tersebut. Sedangkan, shalat dengan memakai sepatu di kalangan ahli ilmu merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan, tetapi jika masjidnya memakai karpet atau permadani maka tidak disyari’atkan shalat dengan bersepatu. Adapun Nabi shalat memakai sepatu disebabkan beliau shalat di atas tanah, atau dengan kata lain bahwa lantai masjid beliau pada waktu itu belum menggunakan permadani atau karpet. Oleh karena itu kewajiban bagi setiap muslim untuk menjaga dan menjalankan sunnah, jika di tempat shalat yang tidak menggunakan karpet atau permadani, maka berusahalah shalat dengan tetap memakai sepatu sebagai pengejawantahan perintah Nabi . Meskipun, hal tersebut tidak secara terus menerus diamalkan, karena yang demikian itu tidak dicontohkan para pendahulu kita (Salafush Shalih).

VI.    Membeda-bedakan Kelas
Yakni membeda-bedakan dalam hak dan kewajiban serta dalam memberi imbalan (balasan) atau hukuman (pidana) di dalam sistem perundang-undangan antara orang-orang yang terhormat dengan orang-orang yang lemah, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Seperti yang dinyatakan dalam Shahihain tentang kisah syafa’at Usamah bin Zaid ra. yang mengeluh tentang besi yang hilang karena dicuri, Nabi bersabda: “Wahai Usamah, apakah kau mau minta dispensasi atas hukuman Allah? Celakanya Bani Israil lantaran jika orang-orang bangsawan (penguasa) mencuri dibiarkan, tetapi jika orang-orang lemah mencuri maka ditegakkan atasnya hukuman. Demi yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri pasti aku potong tangannya.”

VII.  Menutup Mulut dan Memakai Baju Hanya Pada Satu Pundak Ketika Shalat
Salah satu perbuatan bertasyabbuh terhadap orang-orang kafir yang dilarang adalah memakai baju atau kain di satu pundak saja (sadl) dan tidak menutupkan di pundak lainnya, dan menutupi mulutnya dengan kain (at-talatsum) ketika shalat. Karena, yang demikian itu termasuk perbuatan orang-orang Yahudi. Seperti yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Imam Ahmad, dan Hakim, dann dinyatakan menurut syarat Shahihain (Bukhari dan Muslim), bahwa Rasulullah bersabda: “Terlarang mengenakan baju atau kain hanya di satu pundak (sadl) dan menutupi mulutnya ketika shalat.” 34 Sebagian sahabat menyatakan bahwa sebabnya adalah karena yang demikian itu merupakan perbuatan orang-orang Yahudi.

VIII.     Bertabarruj, Menampakkan Wajah, dan Keluarnya Wanita Tanpa Kepentingan Syar’i
Sebagian tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan orang-orang jahiliyah bertabarruj (menampakkan aurat kepada lelaki bukan mahramnya), menampakkan wajahnya, dan keluarnya wanita dari rumah tanpa ada kepentingan yang dibenarkan syar’i.
Allah berfirman:
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ Ÿwur šÆô_§Žy9s? ylŽy9s? Ïp¨ŠÎ=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# ( .......
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan berperilaku seperti orang-orang jahiliyah dahulu.” (QS. Al-Ahzab:33).
                  Berkata Ibnu Mas’ud ra.: “Janganlah menampakkan aurat dan janganlah mengikuti jejak orang-orang musyrik.” (HR Bukhari dan Muslim).

IX.    Ikhtishar Dalam Shalat
Yang dimaksud dengan ikhtishar dalam shalat yakni meletakkan tangan diatas lambung, karena sunnah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada waktu shalat adalah di atas dada bukan di atas lambung. Oleh karena itu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas lambung pada waktu shalat merupakan perbuatan terlarang, karena hal itu merupakan perbuatan orang-orang Yahudi. Seperti yang dinyatakan A’isyah ra. bahwa dia membenci berikhtishar dalam shalat. Katanya: “Jangan menyerupai orang-orang Yahudi!” Dan katanya: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi mengerjakan yang demikian itu.”

X.      Meninggalkan Makan Sahur
Hal ini sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab. Mereka tidak pernah makan sahur kalau akan berpuasa. Dalam hadits riwayat Muslim, Nabi bersabda: “Perbedaan antara shaum kita dengan shaum Ahli Kitab adalah makan sahur.”
Tetapi, sangat disayangkan, kita lihat kaum muslimin di zaman sekarang ini terjebak dalam larangan ini. Khususnya terhadap orang-orang yang suka tidak tidur hingga dekat waktu sahur, tetapi kemudian mereka lalu tertidur ketika mendekati waktu sahur. Dan tidak diragukan lagi, bahwa mereka telah meninggalkan makan sahur secara sengaja. Ini tidak boleh, bahkan cara itu merupakan kebiasaan orang-orang kafir, yakni cara orang-orang Yahudi.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa hal itu bukan merupakan dosa dan hanya sekedar tidak melaksanakan sunnah Nabi , maka renungkanlah firman Allah Ta’ala ini: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan (fitnah) atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63)

XI.    Mengakhirkan Berbuka
Sesungguhnya menyegerakan berbuka merupakan sunnah dan akan dijadikan pembeda dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Seperti yang diriwayatkan Abu Dawud dan Hakim, dan dishahihkannya, bahwa Nabi bersabda: “Agama akan selalu tegak selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.”
Perangai ini banyak menimpa di sebagian manusia, terutama dari kalangan kaum Rafidlah Syi’ah. Sebab, kalangan ahlu bid’ah Syi’ah biasanya mengakhirkan waktu shalat maghrib, yakni hingga tampaknya bintang-bintang. Oleh karena itu dengan sendirinya waktu berbuka puasanya pun diakhirwaktukan.
Demikian juga kadang menimpa di kalangan manusia yang terlalu berhati-hati dan sok pandai dalam dien (Islam). Mereka kadang-kadang tidak percaya pada para muadzin, bahkan tidak percaya pada tenggelamnya matahari sehingga mereka mengakhirkan waktu berbuka dengan suatu alasan, bahwa hal itu untuk berjagajaga. Ini adalah bisikan(was-was) dan godaan dari setan, karena hal tersebut menyebabkan terjatuh pada larangan yakni mengakhirkan berbuka, padahal menyegerakan berbuka itulah yang disunnahkan.
Seperti yang telah dinyatakan dalam hadits, bahwa orang-orang Yahudi mengakhirkan maghrib hingga keluar bintang-bintang, yakni hingga jelas gemerlapnya cahaya bintang-bintang oleh mata. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim dan dishahihkannya, demikian juga Ibnu Majah dan Imam Admad dalam musnadnya, bahwa Nabi bersabda: “Umatku akan selalu dalam fitrah selama tidak mengakhirkan maghrib sampai keluar bintang-bintang.” Dan, ditafsirkan dalam hadits lain bahwa yang demikian itu menyerupai Yahudi dan Nasrani.

XII.       Mengasingkan Wanita Haidl
Mengasingkan wanita yang sedang menjalani haidl, baik dalam makanannya, pergaulannya, tempat duduknya dalam rumah, merupakan perangai orang-orang Yahudi. Kebiasaan kaum Yahudi jika ada wanita yang sedang haidl mereka asingkan lantas dipisahkan makanannya dengan tempat duduknya di dalam rumah.
Padahal, Nabi telah besabda: “Berbuatlah sesukamu kecuali menikah (yakni bersetubuh).” Hal itu ketika beliau ditanya oleh sebagian muslimin yang melihat perbuatan orang-orang Yahudi di Madinah.

XIII.     Larangan Shalat Ketika Matahari Terbit Atau Tenggelam
Adanya larangan tersebut, sebab ketika matahari terbit atau tenggelam berada di antara dua tanduk setan dan pada waktu itu pula orang-orang kafir bersujud. Nabi telah memberi tahu tentang hal itu dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari ‘Amru ibnu ‘Abasah ra. dalam sebuah hadits yang panjang. Di antaranya dikatakan: “Shalatlah shubuh dan pendekkanlah hingga matahari terbit sampai naik. Sesungguhnya ketika matahari terbit, hal demikian ada dalam keadaan di antara dua tanduk setan dan ketika itu pula orang-orang kafir bersujud.” Dan, demikian pula ketika tenggelamnya matahari.

XIV.     Berdiri Memberi Hormat
Dilarang berdiri kepada seseorang sebagai penghormatan kepadanya, khususnya jika orang tersebut mempunyai kedudukan atau kekuasaan dan termasuk dari kalangan pejabat tinggi. Adanya larangan tersebut telah dinyatakan dalam nash yang banyak. Termasuk di dalamnya adalah larangan bagi jama’ah shalat untuk berdiri, padahal imam shalatnya mengimami sambil duduk karena sedang sakit hingga tak memungkinkannya untuk berdiri. Seperti yang dinyatakan Nabi , bahwa hendaklah para makmum shalat jama’ah duduk sebagaimana dilakukan imam shalatnya, sebab dikhawatirkan timbul seperti orang-orang ‘Ajam yang mengambil sikap berdiri ketika bersama para pembesarnya. Rasulullah bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah: “Jika imam shalat dengan duduk maka shalatlah dengan duduk, sedang bila imam shalat dengan berdiri maka shalatlah dengan berdiri. Dan, janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan orang-orang Persia terhadap para pembesar mereka.”
Dan, dalam riwayat lain dikatakan: “Jangan mengagung-agungkanku sebagaimana orang-orang  ‘Ajam mengagung-agungkan yang satu dengan yang lainnya.”
Dan, dalam riwayat Muslim dikatakan: “Hampir saja kalian melakukan perbuatan sebagaimana diperbuat oleh orang-orang Persia dan Romawi, mereka berdiri untuk menghormat raja mereka, sedangkan raja-raja tesebut dalam keadaan duduk.” Sabda ini dinyatakan ketika para sahabat shalat dengan berdiri sedangkan Nabi shalat dengan duduk karena sakit.

XV.       Meratapi Mayat
Menangisi mayat sambil meratapi kemudian menyediakan suatu sarana agar orang lain melakukannya juga, merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Rasulullah pernah bersabda dalam suatu hadits muttafaqun ‘alaihi: “Bukan dari golonganku orang-orang yang memukul pipinya, menyobek kantung bajunya, dan menyeru dengan seruan jahiliyah.” Perangai ini juga banyak menimpa kalangan muslimin sekarang ini.

XVI.     Bangga dengan Kebangsawanan, Mencela Nasab, dan Minta Hujan Kepada Bintang-bintang
Semua ini merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah yang telah dilarang Nabi dengan sabdanya: “Empat perkara yang masih dikerjakan umatku dan merupakan perbuatan jahiliyah serta mereka tidak mau meninggalkannya yaitu: berbangga-bangga dengan kebangsawanan, mencela nasab, minta hujan kepada bintang-bintang, dan menangisi mayat sambil meratapi.”

XVII.   Fanatik Kesukuan, Fanatik Madzab, dan Fanatik Kebangsaan
Fanatisme kesukuan, fanatisme madzab, dan fanatisme kebangsaan serta segala bentuk ashabiyah atau fanatisme kepada selain Islam. Tujuannya agar timbul rasa bangga dan ta’ashub (membanggakan keturunan). Sesungguhnya semua perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahiliyah. Nabi telah bersabda dalam hadits shahih: “Bukan golonganku orang-orang yang menyeru kepada ashabiyah, dan bukan golonganku orang yang berperang karena ashabiyah, bukan golonganku orang-orang yang mati dalam membela ashabiyah.” (HR. Abu Dawud dan Muslim dengan makna yang sama.)
Masalah ashabiyah yang telah dilarang Nabi merupakan masalah paling besar yang menimpa kaum muslimin dahulu maupun sekarang. Dan, sebagian ashabiyah yang menimpa kaum muslimin sekarang, yang merupakan fitnah dan penyebab pecah-belahnya umat adalah fanatisme kesukuan dan fanatisme kebangsaan yang sempit (Chauvinisme). Sehingga, menjadikan kaum muslimin bergolong-golongan dan mereka terpecah-belah menjadi kelompok-kelompok.
Sedangkan, Nabi telah memperingatkan hal ini dengan sabdanya: “Barangsiapa yang menolong kaumnya dalam masalah yang tidak benar, maka dia seperti unta yang memakai mantel kemudian diambil karena kesalahannya.”

XVIII. Menyambung Rambut Bagi Wanita
Yang dimaksud menyambung rambut di sini adalah menyambung atau menambah rambut dengan rambut palsu yang telah Allah ciptakan atas wanita itu (walaupun rambut asli), sebagaimana dilakukan orang-orang Yahudi.
Jika wanita mengubah rambut aslinya (seperti menyambung dengan rambut palsu), maka sesungguhnya dia tidak/bukan bentuk asli, dan telah melanggar batas ketentuan-ketentuan yang dipahami para ahli ilmu (para ulama,). Seperti yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari hadits Muawiyah ra. yang pernah berkata ketika mengisahkan rambut yang disambung: “Sesungguhnya yang menyebabkan Bani Israil binasa adalah karena mereka mengambil ini (rambut palsu) untuk wanita mereka. Aku tidak melihat seorang pun mengerjakannya kecuali orang-orang Yahudi.”

XIX.     Hati yang Keras
Kerasnya hati dan ketidakkhusyu’an terhadap ayat-ayat Allah atau dalam berdzikir kepada-Nya merupakan perangai orang-orang Yahudi yang dilarang Allah dalam firman-Nya: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati-hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya yang telah turun Al-Kitab kepada mereka kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati-hati mereka menjadi keras.” (QS. Al-Hadid: 16).

XX.       Rahbaniyyah dan Tasyabbuh Dalam Agama
Inilah perangai terburuk orang-orang Nasrani yang telah mencapai tingkatan sebagai penyampai ajaran agamanya (pastur) terhadap ketentuan yang tidak disyari’atkan Allah. Baik dalam ibadah dari urusan dunia, menghilangkan usaha dalam pencarian rizki, meniadakan jihad, dan meninggalkan atau melarang bepergian, mengharamkan yang mudah atau meninggalkannya dengan suatu sangkaan bahwa hal itu merupakan tuntunan agamanya. Atau, berlaku sok pandai dalam agama sehingga menyimpang dari manhaj yang benar, yakni dienul Islam.
Adapun rahbaniyyah (kependetaan) merupakan perbuatan orang Nasrani. Allah telah melarang yang demikian itu, begitu pula Rasulullah dengan sabdanya: “Jangan berlebihan terhadap diri kalian, maka Allah akan memperlakukan secara berlebihan pula terhadap kalian. Sesungguhnya telah ada suatu kaum yang terlampau berlebihan terhadap diri mereka, maka Allah memperlakukan secara berlebihan pula terhadap mereka. Maka, itulah sisa-sisa mereka di pertapaan dan kehidupan rahbaniyyah yang mereka ada-adakan, padahal tidak kami perintahkan.”


BAB IX
PENUTUP
Masalah tasyabbuh ini merupakan topik yang sangat penting dan harus dimengerti kaum muslimin. Karena, muslimin di zaman sekarang ini sangat banyak yang terjebak dalam perangkat tasyabbuh yang sangat membahayakan terhadap dien Islam. Bahkan, ada sebagian di antara mereka yang derajat ketasyabbuhannya berada pada tingkat kufur dan ada pula yang sesat (dlalal).
Bahkan, ada juga yang jatuh kepada tingkatan bid’ah. Walaupun penyakit tasyabbuh ini telah pula menimpa orang-orang zaman dahulu, akan tetapi tidak sampai separah sekarang. Kita dapat menemukan bahwa kaum muslimin di zaman kini mengikuti golongan selain mereka dalam sebagian besar perkara, kecuali orang-orang yang benar-benar dijaga Allah ‘Azza wa Jalla.
Sayangnya, kaum muslimin sekarang ini telah mengikuti jejak langkah orang-orang kafir dalam segala jenis perkara, tidak saja mengikuti dalam satu segi
dari perkara-perkara ibadah, adat-istiadat, atau yang lainnya, tetapi mengikutinya
secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, baik dalam aqidah, syari’at, akhlak, pola tingkah laku, pola berpikir, metoda pendidikan, ekonomi, maupun politik. Contoh: